Senin, 24 Mei 2010
KARAKTERISTIK AIR LAUT
Latar Belakang
Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di Laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung. Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air, dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan (Valiela, 1984).
Perairan Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem pola angin muson memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi antara musim, disamping itupula juga dipengaruhi oleh massa air Lautan Pasifik yang melintasi perairan Indonesia menuju Lautan Hindia melalui sistem arus lintas Indonesia (Arlindo). Sirkulasi massa air perairan Indonesia berbeda antara musim barat dan musim timur. Dimana pada musim barat, massa air umumnya mengalir ke arah timur perairan Indonesia, dan sebaliknya ketika musim timur berkembang dengan sempurna suplai massa air yang berasal dari daerah upwelling di Laut Arafura dan Laut Banda akan mengalir menunju perairan lndonesia bagian barat (Wyrtki, 1961). Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kondisi perairan yang akhirnya mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas perairan. Tisch et al. (1992) mengatakan perubahan kondisi suatu massa air dapat diketahui dengan melihat sifat-sifat massa air yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan kandungan nutrien.
Dengan melihat akan keberadaan perairan Indonesia dimana karena adanya perbedaan pola angin yang secara langsung mempengaruhi pola arus permukaan perairan Indonesia dan perubahan karakteristik massa diduga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap tingkat produktivitas perairan. Keadaan ini tergantung pada berbagai hal, seperti bagaimana sebaran faktor fisik-kimia perairan. Untuk itu perlu dilakukan analisa untuk mempelajari dan menelaah pengaruh faktor-faktor oseanografi terhadap sebaran fisik-kimia perairan dan keterkaitannya terhadap tingkat konsentrasi klorofil-a (Gambar 1).
Gambar 1. Skema pendekatan masalah untuk melihat pengaruh faktor oseanografi terhadap produktivitas primer perairan Indonesia.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mempelajari dan menganalisa faktor-faktor oseanografi yang mempengaruhi produktivitas primer di perairan Indonesia.
Manfaat penulisan adalah sebagai informasi kesuburan suatu perairan agar upaya pemanfaatan dan pengelolaan dapat dilakukan secara optimal.
KARAKTERISTIK AIR LAUT
Suhu
Laut tropik memiliki massa air permukaan hangat yang disebabkan oleh adanya pemanasan yang terjadi secara terus-menerus sepanjang tahun. Pemanasan tersebut mengakibatkan terbentuknya stratifikasi di dalam kolom perairan yang disebabkan oleh adanya gradien suhu. Berdasarkan gradien suhu secara vertikal di dalam kolom perairan, Wyrtki (1961) membagi perairan menjadi 3 (tiga) lapisan, yaitu: a) lapisan homogen pada permukaan perairan atau disebut juga lapisan permukaan tercampur; b) lapisan diskontinuitas atau biasa disebut lapisan termoklin; c) lapisan di bawah termoklin dengan kondisi yang hampir homogen, dimana suhu berkurang secara perlahan-lahan ke arah dasar perairan.
Menurut Lukas and Lindstrom (1991), kedalaman setiap lapisan di dalam kolom perairan dapat diketahui dengan melihat perubahan gradien suhu dari permukaan sampai lapisan dalam. Lapisan permukaan tercampur merupakan lapisan dengan gradien suhu tidak lebih dari 0,03 oC/m (Wyrtki, 1961), sedangkan kedalaman lapisan termoklin dalam suatu perairan didefinisikan sebagai suatu kedalaman atau posisi dimana gradien suhu lebih dari 0,1 oC/m (Ross, 1970).
Suhu permukaan laut tergantung pada beberapa faktor, seperti presipitasi, evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktor-faktor fisika yang terjadi di dalam kolom perairan. Presipitasi terjadi di laut melalui curah hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi dapat meningkatkan suhu permukaan akibat adanya aliran bahang dari udara ke lapisan permukaan perairan. Menurut McPhaden and Hayes (1991), evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0,1 oC pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 m dan hanya kira-kira 0,12 oC pada kedalaman 10 – 75 m. Disamping itu Lukas and Lindstrom (1991) mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan laut sangat tergantung pada termodinamika di lapisan permukaan tercampur. Daya gerak berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy, dan entrainment dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan tercampur serta kandungan bahangnya. Menurut McPhaden and Hayes (1991), adveksi vertikal dan entrainment dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan bahang dan suhu pada lapisan permukaan. Kedua faktor tersebut bila dikombinasi dengan faktor angin yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat mengakibatkan terjadinya upwelling. Upwelling menyebabkan suhu lapisan permukaan tercampur menjadi lebih rendah. Pada umumnya pergerakan massa air disebabkan oleh angin. Angin yang berhembus dengan kencang dapat mengakibatkan terjadinya percampuran massa air pada lapisan atas yang mengakibatkan sebaran suhu menjadi homogen.
Salinitas
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Perairan dengan tingkat curah hujan tinggi dan dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang rendah sedangkan perairan yang memiliki penguapan yang tinggi, salinitas perairannya tinggi. Selain itu pola sirkulasi juga berperan dalam penyebaran salinitas di suatu perairan.
Secara vertikal nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Di perairan laut lepas, angin sangat menentukan penyebaran salinitas secara vertikal. Pengadukan di dalam lapisan permukaan memungkinkan salinitas menjadi homogen. Terjadinya upwelling yang mengangkat massa air bersalinitas tinggi di lapisan dalam juga mengakibatkan meningkatnya salinitas permukaan perairan.
Sistem angin muson yang terjadi di wilayah Indonesia dapat berpengaruh terhadap sebaran salinitas perairan, baik secara vertikal maupun secara horisontal. Secara horisontal berhubungan dengan arus yang membawa massa air, sedangkan sebaran secara vertikal umumnya disebabkan oleh tiupan angin yang mengakibatkan terjadinya gerakan air secara vertikal. Menurut Wyrtki (1961), sistem angin muson menyebabkan terjadinya musim hujan dan panas yang akhirnya berdampak terhadap variasi tahunan salinitas perairan. Perubahan musim tersebut selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan sirkulasi massa air yang bersalinitas tinggi dengan massa air bersalinitas rendah. Interaksi antara sistem angin muson dengan faktor-faktor yang lain, seperti run-off dari sungai, hujan, evaporasi, dan sirkulasi massa air dapat mengakibatkan distribusi salinitas menjadi sangat bervariasi. Pengaruh sistem angin muson terhadap sebaran salinitas pada beberapa bagian dari perairan Indonesia telah dikemukakan oleh Wyrtki (1961). Pada Musim Timur terjadi penaikan massa air lapisan dalam (upwelling) yang bersalinitas tinggi ke permukaan di Laut Banda bagian timur dan menpengaruhi sebaran salinitas perairan. Selain itu juga di pengaruhi oleh arus yang membawa massa air yang bersalinitas tinggi dari Lautan Pasifik yang masuk melalui Laut Halmahera dan Selat Torres. Di Laut Flores, salinitas perairan rendah pada Musim Barat sebagai akibat dari pengaruh masuknya massa air Laut Jawa, sedangkan pada Musim Timur, tingginya salinitas dari Laut Banda yang masuk ke Laut Flores mengakibatkan meningkatnya salinitas Laut Flores. Laut Jawa memiliki massa air dengan salinitas rendah yang diakibatkan oleh adanya run-off dari sungai-sungai besar di P. Sumatra, P. Kalimantan, dan P. Jawa.
Densitas air laut (st)
Distribusi densitas dalam perairan dapat dilihat melalui stratifikasi densitas secara vertikal di dalam kolom perairan, dan perbedaan secara horisontal yang disebabkan oleh arus. Distribusi densitas berhubungan dengan karakter arus dan daya tenggelam suatu massa air yang berdensitas tinggi pada lapisan permukaan ke kedalaman tertentu. Densitas air laut tergantung pada suhu dan salinitas serta semua proses yang mengakibatkan berubahnya suhu dan salinitas. Densitas permukaan laut berkurang karena ada pemanasan, presipitasi, run off dari daratan serta meningkat jika terjadi evaporasi dan menurunnya suhu permukaan.
Sebaran densitas secara vertikal ditentukan oleh proses percampuran dan pengangkatan massa air. Penyebab utama dari proses tersebut adalah tiupan angin yang kuat. Lukas and Lindstrom (1991), mengatakan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % terlihat adanya hubungan yang positif antara densitas dan suhu dengan kecepatan angin, dimana ada kecenderungan meningkatnya kedalaman lapisan tercampur akibat tiupan angin yang sangat kuat. Secara umum densitas meningkat dengan meningkatnya salinitas, tekanan atau kedalaman, dan menurunnya suhu.
FAKTOR UTAMA YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PRIMER DI LAUT
Cahaya
Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi klorofil-a di laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia cukup banyak cahaya matahari untuk proses fotosintesa. Sedangkan di lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a lebih banyak terdapat pada bagian bawah lapisan permukaan tercampur atau pada bagian atas dari permukaan lapisan termoklin jika dibandingkan dengan bagian pertengahan atau bawah lapisan termoklin. Hal ini juga dikemukakan oleh Matsuura et al. (1997) berdasarkan hasil pengamatan di timur laut Lautan Hindia, dimana diperoleh bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan termoklin.
Fotosintesa fitoplankton menggunakan klorofil-a, c, dan satu jenis pigmen tambahan seperti protein-fucoxanthin dan peridinin, yang secara lengkap menggunakan semua cahaya dalam spektrum tampak. Pada panjang gelombang 400 – 700 nm, cahaya yang diabsorbsi oleh pigmen fitoplankton dapat dibagi dalam: cahaya dengan panjang gelombang lebih dari 600 nm, terutama diabsorbsi oleh klorofil dan cahaya dengan panjang gelombang kurang dari 600 nm, terutama diabsorbsi oleh pigmen-pigmen pelengkap/tambahan (Levinton, 1982).
Dengan adanya perbedaan kandungan pigmen pada setiap jenis plankton, maka jumlah cahaya matahari yang diabsorbsi oleh setiap plankton akan berbeda pula. Keadaan ini berpengaruh terhadap tingkat efisiensi fotosintesa. Fujita (1970) dalam Parsons et al. (1984) mengklasifikasi alga laut berdasarkan efisiensi fotosintesa oleh pigmen kedalam tipe klorofil-a dan b untuk alga hijau dan euglenoid; tipe klorofil-a, c, dan caratenoid untuk diatom, dinoflagelata, dan alga coklat; dan tipe klorofil-a dan ficobilin untuk alga merah dan alga hijau biru.
Nutrien
Nutrien adalah semua unsur dan senjawa yang dibutuhkan oleh tumbuhan-tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya amonia, nitrat) dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien trace element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, copper, dam vanadium (Levinton, 1982). Menurut Parsons et al. (1984), alga membutuhkan elemen nutrien untuk pertumbuhan. Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg, K, dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya disebut mikronutrien atau trace element.
Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal mana juga dikemukakan oleh Brown et al. (1989), nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara 500 – 1500 m.
Suhu
Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa (Pmax), sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997 b).
Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu.
OSEANOGARFI INDONESIA
Perairan Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan Australia berada dalam suatu sistem pola angin yang disebut sistem angin muson. Angin muson bertiup ke arah tertentu pada suatu periode sedangkan pada periode lainnya angin bertiup dengan arah yang berlawanan. Terjadinya angin muson ini karena terjadi perbedaan tekanan udara antara daratan Asia dan Australia (Wyrtki, 1961). Pada bulan Desember – Pebruari di belahan bumi utara terjadi musim dingin sedangkan di belahan bumi selatan terjadi musim panas sehingga pusat tekanan tinggi di daratan Asia dan pusat tekanan rendah di daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin berhembus dari daratan Asia menuju Australia. Angin ini dikenal di sebelah selatan katulistiwa sebagai angin Muson Barat Laut. Sebaliknya pada bulan Juli – Agustus berhembus angin Muson Tenggara dari daratan Australia yang bertekanan tinggi ke daratan Asia yang bertekanan rendah.
Sirkulasi air laut di perairan Indonesia dipengaruhi oleh sistem angin muson. Oleh karena sistem angin muson ini bertiup secara tetap, walaupun kecepatan relatif tidak besar, maka akan tercipta suatu kondisi yang sangat baik untuk terjadinya suatu pola arus. Pada musim barat, pola arus permukaan perairan Indonesia memperlihatkan arus bergerak dari Laut Cina Selatan menuju Laut Jawa. Di Laut Jawa, arus kemudian bergerak ke Laut Flores hingga mencapai Laut Banda. Sedangkan pada saat Muson Tenggara, arah arus sepenuhnya berbalik arah menuju ke barat yang akhirnya akan menuju ke Laut Cina Selatan (Wyrtki, 1961).
Perairan Indonesia merupakan perairan di mana terjadi lintasan arus yang membawa massa air dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia yang biasanya disebut Arus Lintas Indonesia/Arlindo (Fieux et al., 1996b). Massa air Pasifik tersebut terdiri atas massa air Pasifik Utara dan Pasifik Selatan (Tomascik et al., 1997a; Wyrtki, 1961; Ilahude and Gordon, 1996; Molcard et al., 1996; Fieux et al., 1996a). Terjadinya arlindo terutama disebabkan oleh bertiupnya angin pasat tenggara di bagian selatan Pasifik dari wilayah Indonesia. Angin tersebut mengakibatkan permukaan bagian tropik Lautan Pasifik Barat lebih tinggi dari pada Lautan Hindia bagian timur. Hasilnya terjadinya gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia. Arus lintas Indonesia selama Muson Tenggara umumnya lebih kuat dari pada di Muson Barat Laut.
Sumber air yang dibawa oleh Arlindo berasal dari Lautan Pasifik bagian utara dan selatan. Perairan Selat Makasar dan Laut Flores lebih banyak dipengaruhi oleh massa air laut Pasifik Utara sedangkan Laut Seram dan Halmahera lebih banyak dipengaruhi oleh massa air dari Pasifik Selatan. Gordon et al. (1994) mengatakan bahwa massa air Pasifik masuk kepulauan Indonesia melalui 2 (dua) jalur utama, yaitu:
1. Jalur barat dimana massa air masuk melalui Laut Sulawesi dan Basin Makasar. Sebagian massa air akan mengalir melalui Selat Lombok dan berakhir di Lautan Hindia sedangkan sebagian lagi dibelokan ke arah timur terus ke Laut Flores hingga Laut Banda dan kemudian keluar ke Lautan Hindia melalui Laut Timor.
2. Jalur timur dimana massa air masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku terus ke Laut Banda. Dari Laut Banda, menurut Gordon (1986) dan Gordon et al.,(1994) massa air akan mengalir mengikuti 2 (dua) rute. Rute utara Pulau Timor melalui Selat Ombai, antara Pulau Alor dan Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu dan Selat Rote, sedangkan rute selatan Pulau Timor melalui Basin Timor dan Selat Timor, antara Pulau Rote dan paparan benua Australia (Gambar 2).
Struktur massa air perairan Indonesia umumnya dipengaruhi karakteristik massa air Lautan Pasifik dan sistem angin muson. Dimana pada Musim Barat (Desember – Pebruari) bertiup angin muson barat laut di bagian selatan katulistiwa dan timur laut di utara katulistiwa, karakteristik massa air perairan Indonesia umumnya ditandai dengan salinitas yang lebih rendah, sedangkan pada Musim Tmur (Juni – Agustus) bertiup angin muson tenggara di selatan katulistiwa dan barat daya di utara katulistiwa, perairan Indonesia memiliki karakteristik dengan nilai salinitas yang lebih tinggi.
Gambar 2. Lintasan massa air asal Lautan Pasifik Utara dan selatan di Perairan Indonesia (Publikasi Universitas Columbia, internet, 1997 dalam Naulita, 1998)
Schalk (1987) mengatakan bahwa pergantian musim mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kondisi hidrologi perairan. Dikatakan pula bahwa Musim Timur (Juni – September) menyebabkan terjadinya upwelling di Laut Banda dan stabilitas vertikal pada kolom perairan menjadi rendah. Namun pada Musim Barat (Desember – Maret) terjadi downwelling dengan stabilitas vertikal kolom perairan menjadi tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa pada bulan Agustus di saat terjadinya upwelling, suhu permukaan perairan berkisar pada 25 oC, sedangkan pada bulan Pebruari di saat terjadinya downwelling, suhu permukaan perairan lebih dari 25 oC dan umumnya perairan lebih berstratifikasi di bagian barat Laut Banda.
Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 25 – 30 oC dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan bertambahnya kedalaman hingga 80 db, sedangkan salinitas permukaan laut berkisar antara 31,2 – 34,5 ‰ (Tomascik et al. 1997 a). Nontji (1993) mengatakan bahwa suhu permukaan perairan Indonesia berkisar antara 28 – 31 oC dan di Laut Banda pada saat upwelling, suhu turun sampai 25 oC. Hal ini disebabkan karena massa air dingin dari lapisan bawah terangkat ke lapisan atas. Ilahude and Gordon (1996) mengatakan bahwa suhu permukaan bagian sentral Laut Banda pada musim timur berkisar antara 25,7 – 26,1 oC dengan salinitas 34,1 – 34,4 ‰ sedangkan musim barat suhu berkisar antara 29,6 – 30,3 oC dan salinitas 34,5 ‰.
Sebaran konsentrasi nutrien perairan Indonesia menunjukkan suatu karakteristik perairan tropis, dimana konsentrasinya rendah pada lapisan permukaan. Menurut Wyrtki (1961), untuk perairan Asia Tenggara, konsentrasi fosfat di bagian permukaan kurang dari 0,2 mg-at/l, dan selanjutnya meningkat hingga 1,5 mg-at/l pada lapisan diskontinyu, sedangkan untuk lapisan dalam, konsentrasi fosfat berkisar antara 2,5 – 3,0 mg-at/l. Delsman (1939) yang dikutip oleh Wyrtki (1961) mengatakan konsentrasi fosfat Laut Jawa kira-kira 0,08 mg-at/l dengan fluktuasi antara 0,03 dan 0,012 mg-at/l di dekat permukaan dan memiliki nilai yang agak lebih tinggi di dekat dasar perairan yakni antara 0,08 – 0,15 mg-at/l dengan rata-rata 0,12 mg-at/l.
HUBUNGAN ANTARA FAKTOR OSEANOGARFI DAN PRODUKTIVITAS PRIMER PERAIRAN INDONESIA
Perairan Indonesia yang merupakan bagian dari laut tropik dicirikan oleh cukup tersedia cahaya matahari namun memiliki konsentrasi nutrien rendah. Keadaan ini mengakibatkan produktivitasnya sangat rendah. Seperti halnya dengan laut tropik, laut lepas merupakan bagian dari badan perairan bahari yang memiliki laju produktivitas rendah. Menurut Valiela (1984), laut terbuka yang luasnya 90 % dari laut dunia memiliki laju produktivitas yang rendah bila dibandingkan dengan lingkungan laut lainnya, misalnya perairan pantai, dimana produktivitasnya melebihi 60 % dari produktivitas yang ada di laut.
Laju produksi primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika antara lain:
1. Upwelling
Tingginya produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Seperti yang dikemukakan oleh Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktivitas primer meningkat di sekitar ekuator, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi ekuator.
Beberapa daerah-daerah perairan Indonesia yang mengalami upwelling akibat pengaruh pola angin muson adalah Laut Banda, dan Laut Arafura (Wyrtki, 1961 dan Schalk, 1987), Selatan Jawa dan Bali ( Hendiarti dkk, 1995 dan Bakti, 1998), dan Laut Timor (Tubalawony, 2000).
Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di Laut Banda dan Laut Aru diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada Musim Timur, dimana pada saat tersebut terjadi upwelling di Laut Banda, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada Musim Barat. Pada saat ini di Laut Banda tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil. Di perairan Banda (Vosjan and Nieuwland, 1987) pada Musim Timur terdapat 2 (dua) periode “bloom” fitoplankton, pertama pada bulan Juni dan kedua di bulan Agustus/September. Selanjutnya Nontji (1975), dari hasil studi distribusi klorofil-a di Laut Banda pada fase akhir di bulan September diperoleh bahwa konsentrasi klorofil tertinggi di bagian timur Laut Banda, khususnya di sekitar Pulau Kei dan Tanimbar. Juga dikatakan bahwa 60% dari klorofil-a tersebut berada pada kedalaman 25 m. Hendiarti dkk. (1995) mendapatkan bahwa pada Musim Timur di perairan selatan Pulau Jawa-Bali dimana terjadi upwelling, rata-rata konsentrasi klorofil-a sebesar 0,39 mm/l dan pada Musim Barat sekitar 0,18 mm/l.
2. Percampuran Vertikal Massa Air
Percampuran vertikal massa air sangat berperan di dalam menyuburkan kolom perairan yaitu dengan cara mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Dengan meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu dengan penetrasi cahaya matahari yang cukup di dalam kolom perairan dapat meningkatkan laju produktivitas primer melalui aktivitas fotosintesa fitoplankton. Chaves and Barber (1987) mengatakan bahwa masukan nutrien terutama untuk mengoptimalkan konsentrasi NO3 pada lapisan permukaan dan secara relatif meningkatkan produksi baru.
Percampuran massa air secara vertikal dipengaruhi oleh tiupan angin. Pada saat Musim Timur di perairan Indonesia bertiup angin Muson Tenggara yang mengakibatkan sebagian besar perairan Indonesia Timur mengalami pergolakan yang mengakibatkan terjadinya percampuran massa air secara vertikal. Tubalawony (2000) berdasarkan data ekspedisi Baruna Jaya pada musim timur tahun 1991 mendapatkan adanya percampuran vertikal massa air di perairan lepas pantai Laut Timor yang umumnya lebih dangkal. Akibatnya kandungan klorofil-a di dalam kolom perairan umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan bagian lain dari perairan Laut Timor.
3. Percampuran Massa Air secara Horisontal
Sistem angin muson dan arlindo juga mempengaruhi pola sirkulasi massa air di Perairan Indonesia. Sistem ini mengakibatkan terjadinya percampuran antara dua massa air yang berbeda di suatu perairan. Misalnya pada saat Musim Timur, massa air dari Lautan Pasifik akan bertemu dengan massa air Laut Banda yang mengalami upwelling atau pada saat bertiup angin muson tenggara terjadi penyebaran massa air perairan Indonesia Timur ke perairan Indonesia bagian barat dan sebaliknya terjadi pada saat bertiup angin muson barat laut. Dengan demikian sirkulasi massa air dan percampuran massa air akan mempengaruhi produktivitas primer suatu perairan. Tingginya produktivitas suatu perairan akan berhubungan dengan daerah asal dimana massa air di peroleh. Nontji (1974) dalam Monk et al. (1997) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16 mg/m3 selama Musim Barat, dan 0,21 mg/m3 selama Musim Timur.
Selain beberapa faktor fisik di atas, keberadaan lapisan termoklin sangat mendukung tingginya laju produktivitas produksi primer. Bagian bawah dari lapisan tercampur atau bagian atas dari lapisan termoklin merupakan daerah yang memiliki konsentrasi nutrien yang cukup tinggi sehingga dapat merangsang meningkatnya produktivitas primer. Lapisan termoklin yang dangkal lebih berperan dalam menunjang produktivitas perairan. Karena pada saat terjadinya proses percampuran vertikal, nutrien pada lapisan termoklin lebih mudah mencapai lapisan permukaan tercampur jika dibandingkan dengan lapisan termoklin yang lebih dalam. Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air menyimpulkan bahwa kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah pada bagian batas atas lapisan termoklin. Matsuura et al. (1997) dari hasil pengamatannya di timur laut Lautan Hindia mendapatkan bahwa konsentrasi klorofil-a pada lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dengan konsentrasi maksimum terdapat pada kedalaman kira-kira 75 – 100 m. Sedangkan Hendiarti dkk. (1995) mengatakan bahwa konsentrasi maksimum klorofil-a di perairan selatan Pulau Jawa – Bali berada pada kedalaman 20 m pada Musim Timur dan 80 m pada Musim Barat. Umumnya kedalaman tersebut merupakan batas atas lapisan termoklin.
KESIMPULAN
Karaktersitik massa air perairan Indonesia umumnya dipengaruhi oleh sistem angin muson yang bertiup di wilayah Indonesia dan adanya arus lintas Indonesia (arlindo) yang membawa massa air Lautan Pasifik Utara dan Selatan menuju Lautan Hindia. Pengaruh tersebut mengakibat suhu permukaan perairan Indonesia lebih dingin dengan salinitas yang lebih tinggi sebagai pengaruh terjadinya upwelling di beberapa daerah selama musim timur dan juga akibat dari masuknya massa air Lautan Pasifik, sedangkan pada musim barat, suhu permukaan perairan lebih hangat dengan salinitas yang lebih rendah. Rendahnya salinitas akibat pengaruh massa air dari Indonesia bagian barat yang banyak bermuara sungai-sungai besar.
Selama musim timur, dibeberapa bagian dari perairan Indonesia mengalami upwelling dan percampuran massa air yang mengakibatkan terjadinya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur dan mengakibatkan tingginya produktivitas primer perairan bila dibandingkan dengan musim barat.
Faktor-faktor oseanografi yang sangat berperan dalam mendukung tingginya produktivitas perairan Indonesia adalah upwelling, percampuran massa air secara vertikal dan horisontal, yang terjadi sebagai akibat adanya sistem pola angin muson yang bertiup di wilayah Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Bakti, M. Y., 1998. Dinamika Perairan di Selatan Jawa Timur – Bali pada Musim Timur 1990. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Brown, J., A. Colling, D. Park, J. Phillips, D. Rothery, J. Wright, 1989. Ocean Chemistry and Deep Sea Sediments. Open University.
Chavez, F. P., and R. T. Barber, 1987. An Estimate of New Production in the Equatorial Pacific. Deep-Sea Res., 34:1229-1243.
Cullen, J. J., M. R. Lewis, C. O. Davis, and R. T. Barber, 1992. Photosynthetic Characteristics and Estimated Growth Rates Incate Grazing is the Proximate Control of Primary Production in the Equatorial Pacific. J. Geophys. Res., 97 (C1): 639 – 654.
Fieux, M., C. Andrie, E. Charriaud, A. G. Ilahude, N. Metzl, R. Molcard, and J. C. Swallow, 1996 a. Hydrological and Chlorofluoromenthane Measurements of the Indonesian Throughflow Entering the Indian Ocean. J. Geophys. Res., 101 (C5): 12,433 – 12,454.
Fieux, M., R. Molcard, and A. G. Ilahude, 1996 b. Geostrophic Transport of the Pacific – Indian Oceans Througflow. J. Geophys. Res., 101 (C5): 12,421 – 12,432.
Gordon, A., 1986. Interocean Exchange of Thermocline Water. J. Geophys. Res., 91, 5037 – 5046.
Gordon, A. L., A. Ffield, and A. G. Ilahude, 1994. Thermocline of the Flores and Banda Seas. J. Geophys. Res., 99, 18,235 – 18,242.
Hendiarti, N., S. I. Sachoemar, A. Alkatiri, dan B. Winarno, 1995. Pendugaan Lokasi Upwelling di Perairan Selatan P. Jawa – Bali Berdasarkan Tinjauan Parameter Fisika Oceanografi dan Konsentrasi Klorofil-a. Prosiding Seminar Kelautan Nasional 1995. Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim, Jakarta.
Ilahude, A. G., and A. L. Gordon, 1996. Thermocline Stratification within the Indonesian Seas. J. Geophys. Res., 101 (C5): 12,401 – 12,420.
Levinton, J. S., 1982. Marine Ecology. Printice – Hall inc.
Lukas R., and E. Lindstrom, 1991. The Mixed Layer of the Western Equatorial Pacific Ocean. J. Geophys. Res., 96: 3343 – 3357.
Matsuura, M., T. Sugimoto, M. Nakai, and S. Tsuji, 1997. Oceanographic Conditions near the Spawning Ground of Southern Bluefin Tuna: Northeastern Indian Ocean. J. Oceanogr., 53: 421 – 433.
McPhaden, and S. P. Hayes, 1991. On the Variability of Winds, Sea Surface Temperature, and Surface Layer Heat Content in the Western Wquatorial Pacific. J. Geosphys. Res. 96: 3331 – 3342.
Molcard, R., M. Fiuex, and A. G. Ilahude, 1996. The Indo – Pacific Throughflow in the Timor Passage. J. Geophys. Res., 101 (C5): 12,411 – 12,420.
Monk, K. A., Y. de Fretes, and G. Reksodiharjo-Lilley, 1997. The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. The Ecology of Indonesia Series. Vol. V. Periplus Editions.
Naulita, J., 1998. Karakteristik Massa Air Pada Perairan Lintasan Arlindo. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nontji, A., 1975. Distribution of Chlorophyll-a in the Banda Sea by the End of Upwelling Season. Marine Research in Indonesia, 14:49-59.
Nontji, A., 1993. Laut Nusantara. Penerbit Jembatan, Jakarta.
Parsons, T. R., M. Takashi, and B. Hargrave, 1984. Biological Oceanography Process. Third Edition. Pergamon Press, New York.
Schalk, P. H., 1987. Monsoon – Related Changes in Zooplankton Biomass in the Eastern Banda Sea and Aru Basin. Biol. Oceanogr., 5: 1 – 12.
Tisch, T. D., S. R. Ramp, and C. A. Collins, 1992. Observations of the Geostrophic Current and Water Mass Characteristics off Point Sur, California, From May 1988 through November 1989, J. Geophys. Res. 97 (C8): 12,355 – 12,555.
Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, and M. K. Moosa, 1997 a. The Ecology of the Indonesian Seas. Part One. The Ecology of Indonesian Series. Vol. VII. Periplus Editions (HK) Ltd.
Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, and M. K. Moosa, 1997 b. The Ecology of the Indonesian Seas. Part Two. The Ecology of Indonesian Series. Vol. VIII. Periplus Editions (HK) Ltd.
Tubalawony, S., 2000. Karakteristik Fisik-Kimia dan Klorofil-a Laut Timor. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Valiela, I., 1984. Marine Ecological Processes. Library of Congress Catalogy in Publication Data, New York, USA.
Vosjan, J. H., and G. Nieuwland, 1987. Microbial Biomass and Respiratory Activity in the Surface Waters of the East Banda Sea and Northwest Arafura Sea (Indonesia) at the Time of the Southeast Monsoon. Limnol. Oceanogr. 33 (3): 767 – 775.
Wyrtki, K., 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asean Waters, NAGA Rep. 2. Scripps Inst. of Oceanography La jolla, Calif.
penelitian tentang cypraeidae
1.1. Latar Belakang
Daerah intertidal merupakan daerah pantai yang terletak antara pasang tertinggi dan surut terendah. Dengan ini merupakan perluasan dari lingkungan bahari. Berdarkan kondisi lingkungan, daerah intertidal merupakan zona intertidal berbatu dan zona intertidal berpasir (Nybaken, 1992 ). Lebih lanjut di katakana bahwa bermacam-macam inveterbrata yang hidup secara benthos daerah intertidal mempunyai kisaran ukuran yang sangat luas yaitu berukuran mikro seperti protozoa sampai pada ukuran makro seperti crusiaecia an mollusca .
Gastropoda merupakan salah satu kelas dalam phylum mollusca yang hidup di daerah intertidal dan memiliki jumlah banyak,. Soewigno (1989),melaporkan bahwa gastropoda mencakup 35.000 spesies yang masih hidup dan 15.000 species yang telah menjadi fosil. Lebih lanjut dikatakan Nontji (1993), bahwa diperkirakan sekitar 1500 jenis gastropoda.
Menurut Hutabarat Evans (1985), menyatakan bahwa gastropoda hidup sebagai organisme benthos didaerah intertidal dengan cara menghamburkan diri dalam pasir atau lumpur, bersembnyi pada lamun atau rumput laut dan dan menempel pada batu dan karang.
Cypraidae merupan salah satu famili dalam kelas gastropoda sub kelas prosbranchia dan juga telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan baku kerajinan karena memiliki permukaan cangkang atasnya mengkilap. Dharma (1988), menyatakan bahwa beberapa species cypraeidae memiliki harga cukup tinggi di pasaran dunia diantaranya cypraea guttata, cypraea valetina, cypraea leucodon, cypraea aurantium,dan cypraea porteri.
Tingkat ekspoitasi mollusca secara umum da gastropoda secara khusus terus meningkan dan talah menandakan devisa yang cukup besar bagi bangsa secara ekonomi, namun eksploitasinya kadang dapat menimbulkan masalah bagi kelestarian sehinggasuatu saat akan dapat mengancam populasinya. Salah satu langkah awal dari penjelasan sumberdaya hayati laut adalah mendapatkan sebanyak mungkin informsi tentang kekayaan dan kelimpahan sumberdaya laut.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui struktur komunitas gastropoda Famili Cypraeidae yang meliputi : Kepadatan, pola sebaran, Keanekaragaman jenis dan Indeks dominasi.
1.3. Manfaat Penelitian
Di harapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang keberadaan jenis-jenis famili Cypraeidae kepada masyrakat sehingga dapat dikelolah dan dimanfaatkan tanpa merusak kelestariannya, disamping itu sebagai bahan acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi
Famili cypraeidae merupakan salah satu jenis famili yang termasuk dalam kelas gastropoda sub kelas prosobranchia dan secara lengkapnya diklasifikasikan oleh Dharma (1988) sebagai berikut :
Pylum : Mollusca
Kelas : Gastropoda
Sub kelas : Prosobranchia
Ordo : Mesogastropoda
Famili : Cypraeidae
Genus : Cypraea
Spesies : Cypraea sp
Cypraea Bistrinotata Cypraea Moneta Linne
Cypraea Cicercula Linne Cypraea Asellus Linne
Cypraea ursellus Gmelin Cypraea anullus Linne
Cypraea Contaminata Sowerbi Cypraea Helvola Linne
Cypraea Subviridis Reeve Cypraea Quadrimaculata Gray
Cypraea Globulus Linne Cypraea Coxeni Cox
Cypraea hammoendae Iredale Cypraea Dayritina Cate
Cypraea Limacina Lamarck Cypraea Gracilis Gaskoin
Cypraea Gangranosa Dillwin Cypraea Saulae Gaskoin
Cypraea Erosa Linne Cypraea Coloba melvill
Cypraea Mariae Schilder Cypraea Eburnea Barnes
Cypraea Rabaulensis Schilder Cypraea Isabela Linne
Cypraea Beckii Gaskoin Cypraea Chinensis Gmelin
Cypraea Childreni Gray Cypraea Stolida Linne
Cypraea Boivinii Kiener
2.2. Moorfologi
Gastropoda merupakan salah satu kelas dalam phylum Mollsca yang di sebut hewan berkaki perut, karena menggunakan perut untuk kaki dan kebanyakan hidup di laut (Dharma, 1988).Menurut Jasin (1989),menyatakan gastropoda adalah hewan yang mengalami modifikasi dari bentuk bilateral simetris menjadi bentuk yang mengadakan rotasi atau pembelitan.
Radiopetro dkk(1977), bentuk tubuh gastropoda adalah asimetris . dan biasanya eksoskeletonnya terputar seperti spiral. Selanjutnya Dharma (1988) menyatakan bahwa gastropoda mempunyai bahan asimetris dengan mantelnya terletak dibagian depan. Cangkang dan isi perutnya tergulung seperti spiral kearah belakang.letak mantelnya pada bagian depan yang mengakibatkan torsi.
Cirri-ciri umum kelas gastropoda adalah tubuh dalam asimiteris dan terletak di dalam cangkang, bagian kapala jelas dengan adanya satu atau dua tentakel, mempunyai satu pasang mata dibagian kepala, memiliki kaki yang lebar dan kepala lebih besar. (Radiopetro dkk, 1977).
Nontji (1993), menyatakan bahwa beberapa jenis keong mempunyai lempengan keras dan bundar berjt kapur atau berzat tanduk dibagian belakang kakinya. Lempengan ini di sebut operculum dapat menjadi sumbat penutup lubang cangkang yang amat ampuh untuk melindungi tubunya yang lunak yang tersebunyi didalam cangkang.
Menurut Dharma (1988 , bahwa famili Cypraeidae memiliki permukaan cangkang atasnya mengkilap, anggotanya cukup banyak, ukuran cangkangnya berkisar 1-15 cm dan tidak mempunyai operculum.
1.3. Habitat dan Penyebaran
Kelas gastropoda mrupakan golongan yang paling berhasil menyesuaikan dari untuk hidup diberbagai habitat seperti dasar laut,pelagis,perairan air tawar dan sebagian daratan (Soewigyo, 1989).
Secara alami gastropoda umumnya menyenangi hidup secara kelompok, membenangkan diri dalam Lumpur, dan daun lamun. Namun ada juga yang hidup secara soliter tergantung kondisi bioekologis dari lingkungan hidup.
Oermarjati dan wardana (1990), menyatakan bahwa jenis-jenis cypraea hidup pada daerah pasang surut di antar batu karang dan banyak di tumbuhi algae. Lebih lanjut dilaporkan parinsi (1997), bahwa famili cypraeidae mereka umum menempel padabatu atau karang mati untuk membenamkan diri pada pasir.
Gastropoda tersebar luas diseluruh perairan Indonesia seperti Bengkulu, jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya (Djami dkk, 1998). Sedangkan Brawn dan Moore (1965), dalam harahap (1992), menyakan bahwa gastropoda ada yang hidup sampai pada kedalaman 8210 meter. Demikian juga Soewignyo (1989), menyatakan bahwa kebanyakan gastropoda hidup dalam laut pada zona dangkal sampai kedalaman 10.000.
Parameter Lingkungan
1. Suhu
Suhu di perairan laut merupakan salah satu factor yang sangat penting bagi kehidupan organisme laut karena suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme tersebut (Hutabarat dan evans, 1985). Nybakken (1988) menyatakan bahwa suhu merupakan factor penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme.
Suhu memiliki peranan yang penting dalam mengatur proses alamiah organisme akuatik, baik dalam aktifitas metabolisme untuk pertumbuhan dan fisioligi juga reproduksinya. Kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan gastropoda pada umumnya adalah 25-32 ˚C (Abbot, 1965 dalam Parinsi, 1997).
2. Salinitas
Salinitas adalah jumlah (gram) zat-zat yang terlarut dalam 1 kg air laut (Hutabarat dan Evans, 1985). Pada umumnya permukaan laut mempunyai salinitas yang lebih besar dari pada lapisan-lapisan yang lebih dalam. Salinitas di laut secara umum antara 33 ‰ sampai 37 ‰, sedangkan salinitas permukaan di daerah dengan curah hujan yang tinggi, atau dimana ada pengenceran oleh sungai, dan dalam daerah semi tertutup dapat mendekati nol (Nybakken, 1988).
Salinitas yang optimal untuk kehidupan Gastropoda berada pada kisaran 28-34 ‰. Untuk famili Cypraeidae, salinitas antara, 31-37 ‰ merupakan kisaran yang layak untuk kehidupan Cypraeidae (Agnestian, 1994 dalam Parinsi, 1997).
3. pH
pH digunakan untuk menyatakan hubungan keeratan dengan konsentrasi ion hidrogen. pH juga merupakan indikasi asam atau basa suatu perairan. Hutabarat dan Evans (1985) menyatakan bahwa pH air normal adalah 7,2 – 8,1. pH air yang demikian masih layak untuk semua kebutuhan hidup.
Gastropoda umumnya memerlukan pH antara 6,5 – 8,5 untuk kelangsungan hidup dan reproduksi. Menurut Gasper (1990) dalam Parinsi (1997), Cypraeidae mampu mentoleransi perairan dengan kisaran pH antara 7-8. nilai pH tersebut merupakan nilai pH optimal bagi kelangsungan hidup dan proses reproduksi Cypraeidae.
III. METODE PENITIAN
3.1 Wakti dan tempat
Penelitian ini direncanakan pada bulan april 2010 di zona Itertidal Desa Sidangoli Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat.
3.2. Alat Dan Bahan
Beberapa alat yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu :
No. Alat dan Bahan Kegunaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. Tali plastic
Kuadran 1x1 m
Kantong plastic
Ember plastic
Alat tulis menulis
Kamera
Meteran rol
Lintasan Transek
Alat mengambil sampel
Menampung sampel
Mengumpulkan sampel
Untuk menulis data
Untuk dokumentasi
Untuk mengukur transek
Sedangkan yang menjadi bahan dalam penelitian ini yaitu jenis-jenis famili yang terliput dalam kuadran serta formalin 10%.
3.3. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel cypraeidae dilakukan pada 2 stasiun yaitu stasiun I pada substrat pasir berkarang dan stasiun II pada substrat pasir berlumpur. Penempatan stasiun tersebut berdasarkan pada asumsi bahwa kedua substrat tersebut merupakan habitat dari spesies Trochidae pada umumnya. Masing-masing stasiun terdiri dari 5 lintasan.
Pengambilan sampel cypraeidae dilakukan dengan menggunakan teknik line transek. Penempatan kuadran kearah laut sepanjang 50 meter dengan penempatan kuadran sebanyak 10 kali ulangan. Kuadran yang diguanakan berukuran 1 x 1 meter yang diletakan pada setiap lintasan dengan jarak antara lintasan 20 meter.
Sampel cypraeidae yang terkofer dalam setiap kuadran, diambil dan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label, kemudian dibawa ke darat untuk dihitung jumlah individunya dan dideterminasi berdasarkan ciri-ciri morfologinya.
Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran parameter lingkungan seperti suhu, pH dan salinitas yang dilakukan dengan cara menurut Effendi (2000) sebagai berikut :
Untuk pengukuran suhu yang diukur adalah suhu permukaan dengan menggunakan termometer (˚C). Cara mengukurnya dengan mencelupkan termometer ke dalam air selama 3-5 menit kemudian dibaca angka yang tertera pada termometer tersebut.
Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan handrefractometer langkah awal dengan mengoleskan aquades pada kaca untuk membersihkan dan membuat angka standar nol, kemudian air laut diambil dengan menggunakan pipet dan diteteskan pada kaca obyek, dan untuk menjelaskan angka yang ditunjukkan, arahkan pengamatan pada sumber cahaya.
Pengukuran pH perairan dengan menggunakan pH meter. Alat ini dicelupkan kedalam perairan kemudian diamati angka yang tertera pada skala alat tersebut. Pengukuran suhu, pH dan salinitas dilakukan dengan ulangan sebanyak 3 kali kemudian diambil nilai rata-ratanya dan ditentukan kisaran tertinggi dan terendah dari hasil pengukuran tersebut.
3.4. Teknik Anlisa Data
a. Kepadatan (Krebs, 1989)
X
D =
A
Dimana: D = Kepadatan suatu jenis (ind/m2)
X = Jumlah individu perjenis yang diperoleh (Ind/m2)
A = Luas areal yang diukur dengan kuadran (m2)
b. Keanekaragaman Jenis
untuk menghitung besarnya keanekaragaman digunakan metode Shannon dan Weinner (Ludwig dan Reynolds, 1988), sebagai berikut :
ni ni
H’ = -Σ ln
N N
Keterangan:
H = Keanekaragaman jenis
Ni = Jumlah individu jenis-i
N = Jumlah seluruh individu
Kriteria:
H’ < 1 = Keanekaragaman jenis rendah
1 ≤ H’ ≤ 3 = Keanekaragaman jenis sedang
H’ > 3 = Keanekaragaman jenis tinggi
c. Indeks Dominasi
untuk menghitung indeks dominasi digunakan formula (Odum, 1996). Sebagai berikut:
ni 2
C = ∑
N
Keterangan :
ni = Jumlah individu tiap jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis
Dengan kriteria:
Nilai C berkisar 0-1.
Jika C mendekati 0 berarti tidak ada spesies yang mendominasi dan apabila nilai C mendekati 1 berarti adanya salah satu spesies yang mendominasi.
d. Indeks kemerataan (Wibisono, 2005)
H’
E =
Hmax
keterangan:
E = Indks Kemerataan
H’ = Keanekaragaman Jenis
Hmax = Ln S
S = Jumlah taksa
Dengan kriteria:
> 0,81 = Penyebaran jenis sangat merata
0,61 – 0,80 = Penyebaran jenis lebih merata
0,41 – 0,60 = Penyebaran jenis merata
0,21 – 0,40 = Penyebaran jenis cukup merata
< 0,21 = Penyebaran jenis tidak merata
DAFTAR PUSTAKA
Abbot, R.T. 1965. American Seashell. Van Nostrand Reinhold Company.
New York.
Barnes, R.D 1994. Invertebrate Zoologi. Soenders Company, Philadelphia,
London, Toronto.
Dharma, B. Siput Dan Kerang Indonesia. PT. Sarana Graha. Jakarta.
Hutabarat, S dan Evans, S. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia
Press. Jakarta.
Jasin. J. 1989. Sistematika Hewan (Avertebrata dan Invertebrata). Sinar Wijaya
Surabaya.
Krebs, C. J. Ecological Methodology. Harper And Row Publisher. Inc. New York.
Lutwing, J.A And Reynold J.F 1988. Statistical Ecology. A Primer On Methodos
And Computing. A Willey Sons Inter Science. John Willey And Sons.
New York.
Mandang, R. 1997. Komonitas Gastropoda Di Perairan Bunaken Sulawesi Utara.
Skripsi. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Unstrat. Manado.
Nonji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Noughton dan Wolf. 1990. Ekologi Umum. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. PT.
Gramedia. Jakarta.
Odum, D.A. 1971. Fundamental Of Ecologi. Sounders Company. Philadelphia,
Toppan Company Ltd.
Oermarjati, B dan Wardana. 1990. Taksonomi Avertebrata : Penuntut praktikum
Laboratorium. Universitas Indonesia. Jakarta.
Radiopoerta, K. 1977. Apakah Mollusca itu? Lembaga aseanologi nasional
Lembaga Penelitian Indonesia. Jakarta.
Rondo, M. 2001. Komonitas Biota Perairan. Makalah. Jurusan Menejmen
Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan.
Unsrat. Manado
pencemaran limbah domestik
PENCEMARAN LIMBAH DOMESTIK ( SAMPAH DARI KEGIATAN SEHARI-HARI) DAN DAMPAK TERHADAP PERAIRAN (BIOTA,EKOSISTEM DAN PESISIR)
Dewasa ini air menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang seksama dan cermat. Karena untuk mendapatkan air yang bersih, sesuai dengan standar tertentu, saat ini menjadi barang yang mahal karena air sudahbanyak tercemar oleh bermacam-macam limbah dari hasil kegiatan manusia, baik limbah dari kegiatan rumah tangga, limbah dari kegiatan industri dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dan ketergantungan manusiaterhadap air pun semakin besar sejalandengan perkembangan penduduk yangsemakin meningkat.Di daerah Banjar Ubung Sari, yang polapenyebaran kepadatan penduduknya tidakmerata dan volume penduduk pendatangnyacukup besar, hal ini mengakibatkan makinberkembangnya permukiman-permukimanyang kurang terencana baik dalam bentukkawasan hunian sub standar dan tidak teratur.Dan dengan adanya permukimanpermukimanyang kurang terencana, makadapat mengakibatkan sistem pembuanganlimbah rumah tangga seperti pembuangan
limbah kamar mandi/wc dan dapur tidakterkoordinasi dengan baik, sehingga limbahtersebut dapatmengakibatkan terjadinyapencemaran air tanah yang dapatmengakibatkan terjadinya penyebaranbeberapa penyakit menular. Selainmengakibatkan terjadinya pencemaran airtanah dapat juga mengakibatkan lingkungandi daerah permukiman tersebut menjaditercemar.Oleh karena itu dalam pembuangan limbahdomestik di daerah permukiman tersebutsebaiknya dilakukan pembuatan sistemjaringan pembuangan limbah yang dapatmenampung dan mengalirkan limbah tersebutsecara baik dan benar, agar dapat mencegahterjadinya kontak antara kotoran sebagaisumber penyakit dengan air yang sangat diperlukan untuk keperluan hidup sehari-hari.Oleh karena itu, kualitas dan kuantitas airtanah pada daerah permukiman tersebutharus terjamin, agar dapat digunakan untukkeperluan hidupsehari-hari sesuai dengan standar
Limbah cair bersumber dari pabrik yang biasanya banyak menggunakan air dalam sistem prosesnya. Di samping itu ada pula bahan baku mengandung air sehingga dalam proses pengolahannya air harus dibuang. Air terikut dalam proses pengolahan kemudian dibuang misalnya ketika dipergunakan untuk pencuci suatu bahan sebelum diproses lanjut.
Air ditambah bahan kimia tertentu kemudian di-proses dan setelah itu dibuang,Semua jenis perlakuan ini mengakibatkan buangan air. Pada beberapa pabrik tertentu, misalnya pabrik pengolahan kawat, seng, besi baja – sebagian besar air dipergunakan untuk pendinginan mesin ataupun dapur pengecoran. Air ini dipompa dari sumbernya lalu dilewatkan pada bagian-bagian yang membutuhkan pendinginan, kemudian dibuang.
Oleh sebab itu pada saluran pabrik terlihat air mengalir dalam volume yang cukup besar. Air ketel akan dibuang pada waktu-waktu tertentu setelah melalui pemeriksaan laboratorium, sebab air ini tidak memenuhi syarat lagi sebagai air ketel dan karenanya harus dibuang. Bersamaan dengan itu dibutuhkan pula sejumlah air untuk mencuci bagian dalam ketel Air pencuci ini juga harus dibuang.
Pencucian lantai pabrik setiap hari untuk beberapa pabrik tertentu membutuhkan air dalam jumlah banyak. Pabrik pengalengan ikan membutuhkan air pencuci dalam jumlah yang relatif harus banyak, Jumlah air terus menerus diperlukan mencuci peralatan, lantai dan lainlain,Karat perlu dicuci sebelum masuk pencincangan dan pada saat dicincang air terus-menerus mengalir untuk menghilangkan pasir abu yang terbawa.
Air dari pabrik membawa sejumlah padatan dan partikel baik yang larut maupun mengendap. Bahan ini ada yangkasar dan halus. Kerap kali air dari pabrik berwarna keruh dan temperaturnya tinggi. Air yang mengandung senyawa kimia beracun dan berbahaya mempunyai sifat tersendiri. Air limbah yang telah tercemar memberikan 577 ciri yang dapat diidentifikasi secara visual dapat diketahui dari kekeruhan, warna air, rasa, bau yang ditimbulkan dan indikasi lainnya.
Sedangkan identifikasi secara laboratorium, ditandai dengan perubahan sifat kimia air di mana air telah mengandung bahan kimia yang beracun dan berbahaya dalam konsentrasi yang melebihi batas dianjurkan. Jenis industri menghasilkan limbah cair di antaranya adalah industri-industri pulp dan rayon, pengolahan crumb rubber, minyak kelapa sawit, baja dan besi, minyak goreng, kertas, tekstil, kaustiksoda, elektro plating, plywood, tepung tapioka, pengalengan, pencelupan dan pewarnaan, daging dan lain-lain.
Jumlah limbah yang dikeluarkan masing-masing industri ini tergantung pada banyak produksi yang dihasilkan, serta jenis produksi. Industri pulp dan rayon menghasilkan limbah air sebanyak 30 m3 setiap ton pulp yang diproduksi. Untuk industri ikan dan makanan laut limbah air berkisar antara 79 m3 sampai dengan 500 m3 per hari; industri pengolahan crumb rubber limbah air antara 100 m3 s/d 2000 m3 per hari, industri pengolahan kelapa sawit mempunyai limbah air: rata-rata 120 m3 per hari skala menengah.
ANCAMAN PADA EKOSISTEM DAN BIOTA DI LAUT
Global warming adalah penyebab naiknya permukaan laut, merupakan ancaman serius pada populasi biota laut. Pestisida dan obat-obatan yang digunakan dalam pertanian yang pada akhirnya bermuara pada air laut, menimbulkan masalah serius diantaranya mengakibatkan kurangnya oksigen dalam air yang dapat membunuh habitat biota laut dan ikan-ikan.
Perusahaan dan pabrik industri mengalirkan limbah dan materi-materi kimia lainnya ke dalam laut, hal ini turut berperan besar terhadap pencemaran laut.
Tumpahan minyak pada musibah kapal tanker sangat mencemari lautan, disinyalir kejadian ini menimbulkan pencemaran laut yang dahsyat terhadap eksostem laut. Polusi udara bertanggung jawab pada satu sepertiga kontaminasi racun dan bahan-bahan yang dapat masuk ke dalam wilayah perairan pantai dan laut. Biota laut yang telah tercemar seperti ganggang yang telah beracun, cholera, tanaman laut dan telah memasuki wilayah laut dan dapat menimbulkan ketidakseimbangan ekologi laut Ancaman Terhadap
PENGERUH PADA DAERAH PESISIR
Limbah cair bersumber dari pabrik yang biasanya banyak menggunakan air dalam sistem prosesnya. Di samping itu ada pula bahan baku mengandung air sehingga dalam proses pengolahannya air harus dibuang. Air terikut dalam proses pengolahan kemudian dibuang misalnya ketika dipergunakan untuk pencuci suatu bahan sebelum diproses lanjut.
Air ditambah bahan kimia tertentu kemudian di-proses dan setelah itu dibuang,Semua jenis perlakuan ini mengakibatkan buangan air. Pada beberapa pabrik tertentu, misalnya pabrik pengolahan kawat, seng, besi baja – sebagian besar air dipergunakan untuk pendinginan mesin ataupun dapur pengecoran. Air ini dipompa dari sumbernya lalu dilewatkan pada bagian-bagian yang membutuhkan pendinginan, kemudian dibuang.
Oleh sebab itu pada saluran pabrik terlihat air mengalir dalam volume yang cukup besar. Air ketel akan dibuang pada waktu-waktu tertentu setelah melalui pemeriksaan laboratorium, sebab air ini tidak memenuhi syarat lagi sebagai air ketel dan karenanya harus dibuang. Bersamaan dengan itu dibutuhkan pula sejumlah air untuk mencuci bagian dalam ketel Air pencuci ini juga harus dibuang.
Pencucian lantai pabrik setiap hari untuk beberapa pabrik tertentu membutuhkan air dalam jumlah banyak. Pabrik pengalengan ikan membutuhkan air pencuci dalam jumlah yang relatif harus banyak, Jumlah air terus menerus diperlukan mencuci peralatan, lantai dan lainlain,Karat perlu dicuci sebelum masuk pencincangan dan pada saat dicincang air terus-menerus mengalir untuk menghilangkan pasir abu yang terbawa.
Air dari pabrik membawa sejumlah padatan dan partikel baik yang larut maupun mengendap. Bahan ini ada yangkasar dan halus. Kerap kali air dari pabrik berwarna keruh dan temperaturnya tinggi. Air yang mengandung senyawa kimia beracun dan berbahaya mempunyai sifat tersendiri. Air limbah yang telah tercemar memberikan 577 ciri yang dapat diidentifikasi secara visual dapat diketahui dari kekeruhan, warna air, rasa, bau yang ditimbulkan dan indikasi lainnya.
Sedangkan identifikasi secara laboratorium, ditandai dengan perubahan sifat kimia air di mana air telah mengandung bahan kimia yang beracun dan berbahaya dalam konsentrasi yang melebihi batas dianjurkan. Jenis industri menghasilkan limbah cair di antaranya adalah industri-industri pulp dan rayon, pengolahan crumb rubber, minyak kelapa sawit, baja dan besi, minyak goreng, kertas, tekstil, kaustiksoda, elektro plating, plywood, tepung tapioka, pengalengan, pencelupan dan pewarnaan, daging dan lain-lain.
Jumlah limbah yang dikeluarkan masing-masing industri ini tergantung pada banyak produksi yang dihasilkan, serta jenis produksi. Industri pulp dan rayon menghasilkan limbah air sebanyak 30 m3 setiap ton pulp yang diproduksi. Untuk industri ikan dan makanan laut limbah air berkisar antara 79 m3 sampai dengan 500 m3 per hari; industri pengolahan crumb rubber limbah air antara 100 m3 s/d 2000 m3 per hari, industri pengolahan kelapa sawit mempunyai limbah air: rata-rata 120 m3 per hari skala menengah.
Perkembangan dan laju pertumbuhan manusia semakin meningkat. Akibatnya kebutuhan manusia yang cenderung bersifat antroposentris telah memuci tumbuhnya berbagai jenis industri yang semata-mata hanya menopang kebutuhan manusia.
Pertumbuhan industri yang semakin subur ini terus memacu jumlah pencemaran lingkungan yang disebakan oleh limbah yang dihasilkan oleh setiap industri. Mulai dari industri yang bersifat manufaktur hingga pertanian.
Pembuangan air limbah dapat menyebabkan pencemaran lingkungan apabila kualitas air limbah tidak memenuhi baku mutu limbah yang dipersyaratkan. Produk penyaring air / penjernih air kami yaitu Hydro water filter berhasil mengolah limbah rumah tangga (domestik) yang dihasilkan oleh aktivitas di salah satu gedung instansi pemerintah supaya memenuhi baku mutu air limbah domestik berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 112/2003.
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 tentang Pengendalian kerusakan tanah untuk produksi bio massa: “Tanah adalah salah atu komponen lahan berupa lapisan teratas kerak bumi yang terdiri dari bahan mineral dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik, kimia, biologi, dan mempunyai kemampuan menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.”
Tetapi akibat kegiatan manusia, banyak terjadi kerusakan tanah. Di dalam PP No. 150 th. 2000 disebutkan bahwa “Kerusakan / pencemaran tanah untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar tanah yang melampaui kriteria baku kerusakan tanah”.
Dalam rubrik ini kita akan melihat beberapa hal tentang; penyebab pencemaran tanah, dampaknya, dan cara penanggulangannya.
Timbunan sampah yang berasal dari limbah domestik dapat mengganggu/ mencemari karena: lindi (air sampah), bau dan estetika. Timbunan sampah juga menutupi permukaan tanah sehingga tanah tidak bisa dimanfaatkan. Timbunan sampah bisa menghasilkan gas nitrogen dan asam sulfida, adanya zat mercury, chrom dan arsen pada timbunan sampah bisa timbulkan pencemaran tanah / gangguan terhadap bio tanah, tumbuhan, merusak struktur permukaan dan tekstur tanah. Limbah lainnya adalah oksida logam, baik yang terlarut maupun tidak menjadi racun di permukaan tanah.
Yang menyebabkan lapisan tanah tidak dapat ditembus oleh akar tanaman dan tidak tembus air adalah Sampah anorganik tidak ter-biodegradasi, sehingga peresapan air dan mineral yang dapat menyuburkan tanah hilang dan jumlah mikroorganisme di dalam tanahpun akan berkurang, oleh sebab itu tanaman sulit tumbuh dan bahkan mati sebab tidak mendapatkan makanan untuk berkembang.
Dunia telah kehilangan hampir 20 persen terumbu karangnya akibat emisi karbon dioksida. "Jika tak ada perubahan, kita akan menyaksikan berlipatnya karbon dioksida di atmosfer dalam waktu kurang dari 50 tahun
Global warming (pemanasan global) merupakan salah satu penyebab perubahan dari struktur kimia yang ada di lautan dan proses perubahan ekosistem laut lainnya, dan hal tersebut merupakan ancaman terhadap jutaan spesies biota laut yang tidak dapat bertahan dengan temperatur yang tinggi. Penangkapan ikan yang berlebihan merupakan masalah yang cukup serius di berbagai negara. Banyak para pecinta alam dan para pecinta laut memberikan nasihat dan masukan-masukan untuk menciptakan suasana laut yang dapat melinduingi berbagai mahluk yang ada di laut, tetapi usaha tersebut kelihatannya masih sangat tidak maksimal.
Ancaman terhadap terumbu karang yaitu : Pencemaran minyak dan industri.Sedimentasi akibat erosi, penebangan hutan, pengerukan dan penambangan karang.Peningkatan suhu permukaan laut.Buangan limbah panas dari pembangkit tenaga listrik.Pencemaran limbah domestik dan kelimpahan nutrien.Penggunaan sianida dan bahan peledak untuk menangkap ikan.Perusakan akibat jangkar kapal.
Gundukan sampah yang berasal dari limbah domestik dapat mengganggu/ mencemari karena: lindi (air sampah), bau dan estetika. Gundukan sampah juga menutupi permukaan tanah sehingga tanah tidak bisa dimanfaatkan. Selain itu, gundukan sampah dapat menghasilkan gas nitrogen dan asam sulfida, adanya zat mercury, chrom dan arsen pada timbunan sampah dapat menimbulkan gangguan terhadap bio tanah, tumbuhan, merusak struktur permukaan dan tekstur tanah. Limbah lain seperti oksida logam, baik yang terlarut maupun tidak pada permukaan tanah menjadi racun.
Limbah padat hasil buangan industri berupa padatan, lumpur, bubur yang berasal dari proses pengolahan. Penimbunan limbah padat mengakibatkan pembusukan yang menimbulkan bau di sekitarnya karena adanya reaksi kimia yang menghasilkan gas tertentu.
Dengan tertimbunnya limbah ini dalam jangka waktu lama, permukaan tanah menjadi rusak dan air yang meresap ke dalam tanah terkontaminasi dengan bakteri tertentu yang mengakibatkan turunnya kualitas air tanah pada musim kemarau. Selain itu timbunan akan mengering dan mengundang bahaya kebakaran.
Limbah pabrik kertas yang kerap mencemari Kali Surabaya
Pencemaran air terjadi apabila dalam air terdapat berbagai macam zat atau kondisi (misal Panas) yang dapat menurunkan standar kualitas air yang telah ditentukan, sehingga tidak dapat digunakan untuk kebutuhan tertentu. Suatu sumber air dikatakan tercemar tidak hanya karena tercampur dengan bahan pencemar, akan tetapi apabila air tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan tertentu, Sebagai contoh suatu sumber air yang mengandung logam berat atau mengandung bakteri penyakit masih dapat digunakan untuk kebutuhan industri atau sebagai pembangkit tenaga listrik, akan tetapi tidak dapat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga (keperluan air minum, memasak, mandi dan mencuci).
Ada beberapa penyebab terjadinya pencemaran air antara lain apabila air terkontaminasi dengan bahan pencemar air seperti sampah rumah tangga, sampah lembah industri, sisa-sisa pupuk atau pestisida dari daerah pertanian, limbah rumah sakit, limbah kotoran ternak, partikulat-partikulat padat hasil kebakaran hutan dan gunung berapi yang meletus atau endapan hasil erosi tempat-tempat yang dilaluinya.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.ask.com/bar?q=Limbah+Cair&page=1&qsrc=6&dm=all&ab=0&u=http%3A%2F%2Fwww.chem-is-try.org%2Fmateri_kimia%2Fkimia-industri%2Flimbah-industri%2Flimbah-cair%2F&sg=SIEmHa05gj%2FvpQ5Puevn08KaxSvVVB2OUylZMj2AKb0%3D&tsp=1274265637736